Mesin Waktu

Ridho Wafa
5 min readOct 19, 2020
Landscape with Stars (1905–1908) painting in high resolution by Henri-Edmond Cross. Original from The MET Museum. Digitally enhanced by rawpixel.

Have you ever thought about time machine?

Makassar, pertengahan tahun 2015. Setelah hampir dua dekade tinggal bersama orang tua, untuk pertama kalinya saya pergi meninggalkan rumah. Belum pernah terpikir sebelumnya bahwa saya akan pergi sejauh 1.048 kilometer dari hiruk pikuk suasana kota yang saya kenal sejak lahir. Suasana, makanan, dialek, dan banyak hal yang rasanya asing bagi saya.

Sejak saat itu, saya jadi lebih sentimental terhadap sesuatu, apalagi kalau soal rumah dan orang-orang yang saya sayangi. Saya percaya bahwa ingatan punya cara ajaib dalam bekerja. Ia bisa muncul begitu saja dari wangi makanan, dialog film, kondisi geografis, dan banyak hal yang tidak pernah kita duga.

Source: Google

Pertemuan kembali antara Joel dan Clementine di film Eternal Sunshine of the Spotless Mind misalnya, Joel merasa tidak asing dengan warna rambut Clementine, padahal ingatan tentang satu sama lain antara mereka berdua baru saja dihapus. Kemarin dan waktu-waktu sebelumnya adalah realitas yang sudah lewat. Ingatan acap kali aktual dan relevan. Ia bisa datang kapan saja.

Lagu bagi saya adalah sebuah mesin waktu. Ia adalah media favorit saya untuk menjelajah ke suatu masa, momen, perasaan, atau mengingat hal-hal detil di masa lalu. Seperti membuka album foto jadul dari lemari tua di sudut rumah, sebuah lagu bisa membawa kita ke momen bahagia, sedih, atau perasaan campur aduk yang kita tidak tahu, dalam satu waktu. Mengingatkan kita ke hal remeh-temeh sampai hal-hal yang sangat detil.

Lagu-lagu dari Blue Album dan Green Album milik unit rock asal Los Angeles, Weezer, misalnya, selalu mengingatkan saya tentang rumah. Album tersebut banyak menemani waktu-waktu saya semasa SMA. Di dalam kepala selalu terbayang saya sedang berbaring memakai headphone warna putih milik adik saya, dengan jendela terbuka di sisi kiri tempat tidur setiap kali saya mendengar ulang lagu-lagu tersebut.

Terkadang bukan hanya kenangan yang melibatkan kita saja yang bisa muncul, kenangan yang dimiliki orang lain bisa juga terpatri dalam lagu yang kita dengarkan. Saya akan berjalan mundur ke tahun 2016 setiap mendengarkan lagu Pamit milik Tulus dan Sampai Jumpa milik Endank Soekamti. Saat itu, saya dan teman sedang menunggu penerbangan menuju Makassar di ruang tunggu Bandara Adisutjipto Yogyakarta, dia bercerita tentang hubungan yang baru saja ia akhiri, lalu dia memperlihatkan sebuah video yang dia buat tentang ucapan perpisahan untuk mengakhiri sebuah hubungan dengan kekasihnya menggunakan latar suara lagu tersebut. Saya masih ingat detil-detil kecilnya, saya memakai kemeja kotak-kotak warna biru yang sering saya pakai setiap berpergian, sedangkan dia membawa satu kotak oleh-oleh berisi bakpia khas Yogyakarta, dan penerbangan kami mengalami keterlambatan.

Lagu Hanya Kau milik band asal Jakarta, The Adams, juga memiliki memori yang spesial buat saya. Membawa saya kembali ke tahun 2019, dimana saya dan orang terkasih memutuskan untuk menonton salah satu festival musik di Jakarta. Kami menghabiskan waktu di kedai kopi di bilangan Cipete, Jakarta Selatan, sebelum pergi ke festival musik tersebut. Hari itu juga, kami memutuskan untuk tidak memakai transportasi daring dan lebih memilih menggunakan transportasi umum selama kami berpergian. The Adams tampil pukul dua belas malam, tembang Hanya Kau masuk dalam set list pada malam itu, dan berakhir pukul satu pagi.

Sebuah pengalaman yang sangat surreal di hari itu. Bisa bertemu secara langsung dengan pembawa acara favorit saya di kedai kopi, melihat fotografer yang saya kagumi antre memasuki venue festival, sing along dengan mantan artis cilik yang punya nama besar pada masanya di barisan penonton, berpapasan dengan jurnalis musik yang saya kagumi tulisannya, dan menyaksikan aksi penyanyi, kolektif, atau band di atas panggung.

Lagu ini benar-benar merekam seluruh momen yang kami lewati dari pagi hingga pagi lagi. Imaji dan perasaan saya akan melakukan perjalanan waktu ke momen tadi setiap saya mendengar lagu tersebut.

Sebuah lagu juga bisa mengantarkan ke peristiwa yang tidak ingin kita ingat kembali. Seperti membuka kotak pandora, ingatan yang terekam dalam sebuah lagu bisa saja tentang kebencian, kekecewaan, patah hati, kehilangan, ataupun kematian. Saya sangat menyukai penulisan lirik lagu dengan pendekatan yang personal, seperti menyisipkan keterangan waktu, tempat, suasana, ataupun pengalaman yang pernah dialami oleh penulis lirik. Seperti penggalan lirik yang ditulis oleh Jeremy Bolm, frontman dari band Touché Amoré, di lagu New Halloween,

“I skip over songs because they’re too hard to hear

Like track 2 on ‘Benji’ or ‘What Sarah Said’.”

Lagu ini bercerita tentang kepergian ibunya setelah menderita kanker stadium 4. Benji adalah album milik Sun Kil Moon, moniker dari musisi Mark Kozelek. Track 2 yang dimaksud berjudul I Can’t Live Without My Mother’s Love. What Sarah Said sendiri merupakan lagu dari band Death Cab For Cutie yang juga bercerita tentang kematian orang yang kita sayangi.

Lirik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sebuah lagu. Bagaimana sebuah lirik menjadikan efek magi pada sebuah lagu terkadang sulit untuk dipercaya. Alih-alih menikmati lagu tersebut, ada orang yang memilih untuk melewatkan sebuah lagu karena tidak mudah untuk menjelajah ke suatu memori yang mengingatkan kembali suasana yang tidak ingin kita ingat atau perasaan campur aduk yang kita sendiri tidak bisa jelaskan.

Saya percaya bahwa manusia tidak akan bisa lepas dari masa lalu. Jika saya bisa menjelajah waktu, dan mempunyai pilihan untuk pergi ke masa lalu atau masa depan, saya lebih memilih untuk pergi ke masa lalu. Saya bisa memilih momen-momen yang hanya ingin saya kunjungi, sedangkan pergi ke masa depan sama halnya dengan memasuki lubang hitam. Kita tidak pernah tahu apa yang ada di dalamnya, apakah sesuai dengan apa yang kita bayangkan, atau justru getir yang akan kita dapat.

Lagu sebagai mesin waktu adalah cara saya untuk tetap memelihara memori-memori yang mungkin saja tercecer entah di mana. Ia adalah alat untuk merekam, mengingat, lalu sebagai proyektor yang memberikan gambaran tentang memori masa lalu.

“The past still present tense”,

penggalan lirik dari American Football – Home Is Where the Haunt Is

--

--