Pilihan

Ridho Wafa
3 min readSep 14, 2021
Gustav Klimt’s The Kiss (1907–1908) famous painting. Original from Wikimedia Commons. Digitally enhanced by rawpixel.

Manusia, dalam hidupnya selalu dihadapkan dengan pilihan. Hitam atau putih, gelap atau terang, kiri atau kanan, dan pilihan-pilihan hidup lainnya yang terkadang menentukan kebahagiaan seseorang, atau sebaliknya, penyesalan yang tak berujung. Proses itu terkadang datang sangat cepat, tanpa disadari kita sudah membuat keputusan yang menentukan jalan hidup kita di masa depan.

Semua orang pada dasarnya berhak atas pilihan hidupnya sendiri. Hidup di atas pilihan sendiri tentu lebih baik daripada hidup di atas pilihan orang lain. Sudah terlalu banyak orang yang merasa dirinya paling benar dan paling berhak untuk menentukan pilihan hidup orang lain. Bahkan, ada yang sampai hati untuk memaki, menghakimi, menghina, meremehkan, dan merisak.

Saya memilih untuk menikah, bukan berarti saya tidak setuju dengan orang yang memutuskan untuk tidak menikah. Semua orang punya alasan atau pilihannya masing-masing. Kita tidak pernah tahu apa yang sudah mereka alami dalam hidup, pilihan itu merupakan keputusan yang sangat personal. Kamu tidak harus tahu alasannya untuk bisa menghargai pilihannya. Saya, kamu, dan kalian semua, tentu tidak punya hak untuk menyamakan standar hidup kita dengan pilihan mereka.

Sama halnya dengan pilihan untuk memiliki keturunan atau tidak. Saya belajar bahwa walaupun kami sudah menikah, istri saya punya otoritas terhadap tubuhnya sendiri. Ia berhak merasa aman dan nyaman, serta menentukan apa yang terbaik untuk tubuhnya. Saya tidak boleh egois dengan hanya mementingkan pilihan saya. Keputusannya harus diambil oleh dua pihak, ia berhak memilih, terlebih dalam hal ini, saya lebih menitikberatkan keputusan ada pada dirinya. Apapun pilihannya, saya akan menghargainya. Pun pasangan di luar sana berhak memilih apa yang terbaik bagi mereka.

Namun, yang perlu kita sadari, tidak semua orang punya privilese untuk memilih. Orang yang lahir dalam kemiskinan struktural misalnya, pilihannya mungkin hanya satu, yaitu terus bertahan hidup, karena menyerah jelas bukan pilihan. Beruntunglah bagi kalian semua, dan saya tentunya, yang punya privilese untuk memilih. Karena masih banyak orang-orang di luar sana yang hak-haknya untuk membuat sebuah pilihan dirampas oleh ketidakadilan.

Kaum minoritas, marjinal, dan lain sebagainya, di negara ini, tidak akan mendapatkan privilese sebesar orang yang terlahir sebagai laki-laki, suku Jawa, beragama Islam, dan lahir dengan kondisi ekonomi yang baik. Masih banyak diskriminasi suku dan cap stereotype negatif. Belum lagi, bagi pemeluk agama minoritas, melaksanakan ritual keagamaan saja terkadang masih dalam perasaan tidak aman. Budaya patriarki yang kuat juga menyebabkan perempuan banyak dirugikan. Hak perempuan untuk bisa mengaktualisasikan diri jadi sangat terbatas. Perempuan hanya dianggap cakap dalam urusan domestik, padahal mereka juga berhak memilih untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Sikap apapun yang menganggap individu atau kelompok lebih superior dari yang lain memang seharusnya ditiadakan.

Saya sadar, selama hidup, saya melakukan banyak kesalahan. Barangkali sebelum saya menulis ini, saya bersikap, berperilaku, atau perkataan saya menyakiti orang lain, rasis, seksis, diskriminatif, dan hal-hal lain yang merugikan, saya minta maaf. Permohonan maaf saya tentu tidak bisa menganulir kesalahan yang sudah saya perbuat dan juga tidak membuatnya jadi lebih ringan. Saya juga meminta maaf jika selama ini orang-orang di sekitar saya melakukan hal-hal yang saya sebut di atas, saya hanya diam dan tidak mengambil tindakan apapun. Semoga saya bisa belajar untuk bisa lebih sensitif dan responsif lagi.

Setiap orang berhak atas pilihannya sendiri. Apalagi di realitas yang tidak ideal ini, “memilih” adalah kata yang mahal. Saya berharap bisa menjadi orang yang selalu menghargai setiap pilihan orang lain.

--

--